Kampoeng Djowo yang Modern di Sekatul
Nuansanya perdesaan. Penerangan hanya obor, tak ada televisi, tapi bisa akses internet.
Gemercik air sungai yang mengalir dari celah perbukitan hijau mengiringi aktivitas perdesaan yang tengah bergegas. Petani, lenguhan kerbau, dan ayunan pacul di persawahan, kicau burung yang bersahutan, menambah semarak suasana di awal hari.
Mentari masih muda, saat sinarnya menembus kabut tipis yang menyelimuti halaman sebuah perkampungan Jawa nan asri. Embun di hamparan rumput hijau pun mulai menguap lamat-lamat sembari menebar aroma segarnya bau tanah basah yang khas.
Menikmati pagi dari pendopo joglo uzur yang belum kehilangan kokohnya, kian memberi kedamaian dan kesejukan hati. Pas untuk sejenak menyingkirkan penat akibat rutinitas dan hiruk-pikuk kota yang membelenggu.
Suasana itu akan didapat di Kampoeng Djowo yang berada di Dukuh Sekatul, Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Menempati lahan sekitar 12 hektare, tepat di kaki Gunung Ungaran, objek wisata ini memiliki panorama alam yang indah. Perbukitan Medini yang berhawa sejuk dengan hamparan kebunan teh mengelilingi kompleks ini.
Akses
Untuk menuju Kampoeng Djowo di Sekatul ini bisa ditempuh 30 menit dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum kurang satu jam: Baik dari kota Semarang maupun Ungaran, ibu kota Kabupaten Semarang. Dari Ungaran bisa ditempuh melalui Karanggeneng, Gunungpati, ke arah Cangkiran. Dari jantung kota Semarang, objek ini bisa diakses melalui Tugumuda ke arah Pasar Jrakah, Mijen, dan terminal Cangkiran. Papan penunjuk arah di terminal ini sangat jelas memandu perjalanan menuju Sekatul yang tinggal menyisakan tiga kilometer lagi.
Dari Kendal, objek ini bisa diakses melalui Kaliwungu dengan waktu tempuh yang tak jauh berbeda melalui jalan berkelok, hutan jati wilayah KPH Kendal, PT Perkebunan Nusantara Merbuh, Boja, dan jalan utama menuju pemandian air hangat Gonoharjo.
Menurut Winky, salah sorang staf Kampoeng Djowo, dengan tarif masuk hanya Rp 2.000 (pelajar) dan Rp 3.000 (umum) pengunnung bisa melihat rumah enam joglo besar berikut isinya yang antik. Mulai dari pernak-pernik, hiasan, ornamen, ukiran, hingga furnitur khas Jawa klasik yang masih terawat rapi.
Ada Ndalem Bagan, Ndalem Bonokeling, Ndalem Joyokusumo, Ndalem Jayengan, Ndalem Gethuk, dan Ndalem Saridin. "Keenam joglo ini bisa disewakan sebagai ruang dhahar (makan), rumah singgah, tempat resepsi perkawinan, seminar, serta gardu pandang," jelas Winky.
Biaya menginap di sini Rp 75 ribu per orang per malam untuk orang dewasa. Untuk anak-anak dikenakan tarif Rp 50 ribu per anak per malam.
Khusus di Ndalem Gethuk, ada delapan kamar dengan tarif Rp 350 ribu per bed per malam. Meski dilengkapi shower dan kloset, kamar mandi tetap ditata dengan nuansa Jawa klasik. "Seperti lantai dari batu alam dan bak dari gerabah," jelas Winky.
Nuansa pedesaan Jawa akan sangat kental jika bermalam di Kampoeng Djowo ini. Tak ada gemerlap lampu merkuri dan sejenak lupakan televisi. Namun, tersedia beberapa tempat hot spot untuk mengakses internet.
Sebagai penerang, di sudut-sudut kampung dinyalakan api di atas tungku dengan bahan bakar minyak tanah atau jajaran oncor
(obor) penerang jalan utama. Hanya suara gamelan atau siteran yang
mengalun lembut mengiringi sinden dari panggung Madugondo yang
berhadapan dengan Ndalem Bagan. Konon, perangkat gamelan ini salah satu
peninggalan Sunan Kalijaga.
Selain lima joglo besar dan satu limasan, juga disediakan belasan bale kecil untuk istirahat usai berkeliling menikmati panorama Kampoeng Djowo. Di sini pengunjung bisa menyantap aneka kuliner khas Jawa yang mengundang selera, seperti yang dipesan. Ada aneka pepes, ikan bakar, nasi goreng jowo, salad jowo, gudangan (urapan), dan lainnya. Tersedia beragam paket pesanan untuk kelompok besar maupun kecil dengan harga yang terjangkau.
Wisata edukasi
Tak sekadar menawarkan keunikan bangunan klasik dan semua yang berbau Jawa, Kampoeng Djowo Sekatul juga menawarkan wisata agro bernuansa pedesaan yang tak kalah menarik. Hamparan sawah, budidaya tanaman obat, bunga hias, perkebunan vanili dan strawbery segar yang bisa dipetik langsung, budidaya buah-buahan, serta arena pemancingan.
Untuk 'si upik' dan 'si buyung' ada kolam renang alam dan sejumlah paket permainan mendidik yang berorientasi pada kekuatan interaksi umat dengan alam pedesaan. Di antaranya ada permainan edukasi seperti memandikan kerbau, membajak sawah, menanam padi, bertanam strawbery, membuat gerabah, dan melukis caping.
Untuk uji keberanian, disediakan pula permainan tali meliputi flying fox, spider webb, burma crosser, serta jembatan ayun yang digabung dalam arena outbond.
Untuk wisata edukasi ditawarkan paket pembuatan gula jawa serta pembuatan tahu dan tempe. "Kampoeng Djowo Sekatul juga dilengkapi fasilitas area perkemahan serta fasilitas pesta kebun," jelas Winky.
Aset Wisata Sejarah dan Arsitektur
Menurut penggagas sekaligus pemiliknya --ungkap Humas Kampoeng Djowo Sekatul, Elly Rusmilawati-- Kampoeng Djowo bukan sekadar menyuguhkan joglo klasik yang unik dan masih terpelihara keasliannya. Keberadaan Kampung Djowo merupakan bukti kesetiaan pemilik, KPH Herry Djojonegoro, pada sejarah sekaligus upaya untuk nguri-uri ( melestarikan) kebudayaan Jawa.
Adalah Wangsa Sanjaya yang memerintahkan para empu membangun Candi Gedongsongo dan Candi Prumasan. Dan, Sekatul kala itu adalah tempat persinggahan.
Saat akan menyerang Belanda di Batavia, Sultan Agung juga menjadikan daerah di sekitar Sekatul ini sebagai tempat untuk membahas strategi perangnya. "Sehingga tanah ini dinamakan 'Limbangan'. Karena merupakan tempat untuk mempertimbangkan strategi penyerangan," ungkap Elly.
Joglo Lanang, bangunan yang didirikan paling awal (1999), merupakan eks-pendopo Kadipaten Mbagan, di Lasem. Bangunan yang dibuat sekitar abad ke-15 ini kini 'disulap' menjadi Ndalem Bagan.
Bangunan kedua adalah rumah Wadon, melengkapi joglo Lanang didirikan pada 2000. Bangunan limasan ini merupakan rumah yang diambil dari bekas rumah Mpu Baradha (abad X). Bangunan yang diambil dari perbatasan Blora dengan Ngawi --tepatnya di Desa Tlogo Tuwung, dukuh Nogososro, ini-- diberi tetenger Ndalem Baradha.
Pada 2005, khasanah joglo yang dimiliki Kampoeng Djowo ini bertambah lagi dengan didirikannya Sasono Hondrowino (joglo pandang). Bangunan antik yang diambil dari kawasan Pati ini merupakan joglo yang dibuat pada masa Adipati Djoyo Kusumo, dan di Kampung Djowo menjadi Ndalem Djoyo Kusumo.
Tahun 2003 didirikan joglo untuk perenungan (semedi) yang ditemukan di Desa Tubanan, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Keunikan joglo ini pembuatannya dilakukan 300 tahun lalu tanpa menggunakan tatah (alat pahat). Tapi, menggunakan pethel (kapak kecil), sehingga membutuhkan kesabaran dan ketelitian dalam pengerjaannya. Maka, ukiran dan detail bangunan menjadi sangat khas. "Bangunan ini dinamakan Ndalem Bonokeling," jelas Elly.
Yang Khas dari Kampoeng Djowo
Sesaat setelah hadir, tak hanya keramahan yang menyambut. Ada satu minuman hangat penyapa kedatangan para pengunjung. Penyaji di Kampoeng Djowo menyebutnya 'jahe ceng'. Minuman penghangat badan berbahan dasar jahe, kapulogo, dan rempah-rempah ini memiliki rasa yang khas. Pas sebagai penghangat untuk melawan udara dingin lereng pegunungan.
Antony, salah seorang pengunjung dari Tuban mengakui aroma dan rasa minuman ini berbeda dengan minuman berbahan jahe lainnya. "Kombinsi jahe yang tak terlalu kuat dan rasa kapulogo yang mantap dan sedikit rasa gula jawa menjadikan minuman ini segar untuk diseruput," ujarnya.
Di toko kesenian Kampoeng Djowo bisa dijumpai bermacam kerajinan yang khas. Ada mainan anak tradisional yang hampir punah, hiasan pajang, batik, hingga aksesoris kecantikan bernuansa Jawa. Termasuk pula aneka macam buah tangan berupa makanan khas Sekatul, seperti rambak sapi, keripik kacang hijau (tumpi), serta keripik nagka. "Kebetulan Sekatul ini merupakan sentra penghasil nangka di Kabupaten Kendal," ungkap Winky. bowo pribadi
Gemercik air sungai yang mengalir dari celah perbukitan hijau mengiringi aktivitas perdesaan yang tengah bergegas. Petani, lenguhan kerbau, dan ayunan pacul di persawahan, kicau burung yang bersahutan, menambah semarak suasana di awal hari.
Mentari masih muda, saat sinarnya menembus kabut tipis yang menyelimuti halaman sebuah perkampungan Jawa nan asri. Embun di hamparan rumput hijau pun mulai menguap lamat-lamat sembari menebar aroma segarnya bau tanah basah yang khas.
Menikmati pagi dari pendopo joglo uzur yang belum kehilangan kokohnya, kian memberi kedamaian dan kesejukan hati. Pas untuk sejenak menyingkirkan penat akibat rutinitas dan hiruk-pikuk kota yang membelenggu.
Suasana itu akan didapat di Kampoeng Djowo yang berada di Dukuh Sekatul, Desa Margosari, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah. Menempati lahan sekitar 12 hektare, tepat di kaki Gunung Ungaran, objek wisata ini memiliki panorama alam yang indah. Perbukitan Medini yang berhawa sejuk dengan hamparan kebunan teh mengelilingi kompleks ini.
Akses
Untuk menuju Kampoeng Djowo di Sekatul ini bisa ditempuh 30 menit dengan kendaraan pribadi atau angkutan umum kurang satu jam: Baik dari kota Semarang maupun Ungaran, ibu kota Kabupaten Semarang. Dari Ungaran bisa ditempuh melalui Karanggeneng, Gunungpati, ke arah Cangkiran. Dari jantung kota Semarang, objek ini bisa diakses melalui Tugumuda ke arah Pasar Jrakah, Mijen, dan terminal Cangkiran. Papan penunjuk arah di terminal ini sangat jelas memandu perjalanan menuju Sekatul yang tinggal menyisakan tiga kilometer lagi.
Dari Kendal, objek ini bisa diakses melalui Kaliwungu dengan waktu tempuh yang tak jauh berbeda melalui jalan berkelok, hutan jati wilayah KPH Kendal, PT Perkebunan Nusantara Merbuh, Boja, dan jalan utama menuju pemandian air hangat Gonoharjo.
Menurut Winky, salah sorang staf Kampoeng Djowo, dengan tarif masuk hanya Rp 2.000 (pelajar) dan Rp 3.000 (umum) pengunnung bisa melihat rumah enam joglo besar berikut isinya yang antik. Mulai dari pernak-pernik, hiasan, ornamen, ukiran, hingga furnitur khas Jawa klasik yang masih terawat rapi.
Ada Ndalem Bagan, Ndalem Bonokeling, Ndalem Joyokusumo, Ndalem Jayengan, Ndalem Gethuk, dan Ndalem Saridin. "Keenam joglo ini bisa disewakan sebagai ruang dhahar (makan), rumah singgah, tempat resepsi perkawinan, seminar, serta gardu pandang," jelas Winky.
Biaya menginap di sini Rp 75 ribu per orang per malam untuk orang dewasa. Untuk anak-anak dikenakan tarif Rp 50 ribu per anak per malam.
Khusus di Ndalem Gethuk, ada delapan kamar dengan tarif Rp 350 ribu per bed per malam. Meski dilengkapi shower dan kloset, kamar mandi tetap ditata dengan nuansa Jawa klasik. "Seperti lantai dari batu alam dan bak dari gerabah," jelas Winky.
Nuansa pedesaan Jawa akan sangat kental jika bermalam di Kampoeng Djowo ini. Tak ada gemerlap lampu merkuri dan sejenak lupakan televisi. Namun, tersedia beberapa tempat hot spot untuk mengakses internet.
Selain lima joglo besar dan satu limasan, juga disediakan belasan bale kecil untuk istirahat usai berkeliling menikmati panorama Kampoeng Djowo. Di sini pengunjung bisa menyantap aneka kuliner khas Jawa yang mengundang selera, seperti yang dipesan. Ada aneka pepes, ikan bakar, nasi goreng jowo, salad jowo, gudangan (urapan), dan lainnya. Tersedia beragam paket pesanan untuk kelompok besar maupun kecil dengan harga yang terjangkau.
Wisata edukasi
Tak sekadar menawarkan keunikan bangunan klasik dan semua yang berbau Jawa, Kampoeng Djowo Sekatul juga menawarkan wisata agro bernuansa pedesaan yang tak kalah menarik. Hamparan sawah, budidaya tanaman obat, bunga hias, perkebunan vanili dan strawbery segar yang bisa dipetik langsung, budidaya buah-buahan, serta arena pemancingan.
Untuk 'si upik' dan 'si buyung' ada kolam renang alam dan sejumlah paket permainan mendidik yang berorientasi pada kekuatan interaksi umat dengan alam pedesaan. Di antaranya ada permainan edukasi seperti memandikan kerbau, membajak sawah, menanam padi, bertanam strawbery, membuat gerabah, dan melukis caping.
Untuk uji keberanian, disediakan pula permainan tali meliputi flying fox, spider webb, burma crosser, serta jembatan ayun yang digabung dalam arena outbond.
Untuk wisata edukasi ditawarkan paket pembuatan gula jawa serta pembuatan tahu dan tempe. "Kampoeng Djowo Sekatul juga dilengkapi fasilitas area perkemahan serta fasilitas pesta kebun," jelas Winky.
Aset Wisata Sejarah dan Arsitektur
Menurut penggagas sekaligus pemiliknya --ungkap Humas Kampoeng Djowo Sekatul, Elly Rusmilawati-- Kampoeng Djowo bukan sekadar menyuguhkan joglo klasik yang unik dan masih terpelihara keasliannya. Keberadaan Kampung Djowo merupakan bukti kesetiaan pemilik, KPH Herry Djojonegoro, pada sejarah sekaligus upaya untuk nguri-uri ( melestarikan) kebudayaan Jawa.
Adalah Wangsa Sanjaya yang memerintahkan para empu membangun Candi Gedongsongo dan Candi Prumasan. Dan, Sekatul kala itu adalah tempat persinggahan.
Saat akan menyerang Belanda di Batavia, Sultan Agung juga menjadikan daerah di sekitar Sekatul ini sebagai tempat untuk membahas strategi perangnya. "Sehingga tanah ini dinamakan 'Limbangan'. Karena merupakan tempat untuk mempertimbangkan strategi penyerangan," ungkap Elly.
Joglo Lanang, bangunan yang didirikan paling awal (1999), merupakan eks-pendopo Kadipaten Mbagan, di Lasem. Bangunan yang dibuat sekitar abad ke-15 ini kini 'disulap' menjadi Ndalem Bagan.
Bangunan kedua adalah rumah Wadon, melengkapi joglo Lanang didirikan pada 2000. Bangunan limasan ini merupakan rumah yang diambil dari bekas rumah Mpu Baradha (abad X). Bangunan yang diambil dari perbatasan Blora dengan Ngawi --tepatnya di Desa Tlogo Tuwung, dukuh Nogososro, ini-- diberi tetenger Ndalem Baradha.
Pada 2005, khasanah joglo yang dimiliki Kampoeng Djowo ini bertambah lagi dengan didirikannya Sasono Hondrowino (joglo pandang). Bangunan antik yang diambil dari kawasan Pati ini merupakan joglo yang dibuat pada masa Adipati Djoyo Kusumo, dan di Kampung Djowo menjadi Ndalem Djoyo Kusumo.
Tahun 2003 didirikan joglo untuk perenungan (semedi) yang ditemukan di Desa Tubanan, Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara. Keunikan joglo ini pembuatannya dilakukan 300 tahun lalu tanpa menggunakan tatah (alat pahat). Tapi, menggunakan pethel (kapak kecil), sehingga membutuhkan kesabaran dan ketelitian dalam pengerjaannya. Maka, ukiran dan detail bangunan menjadi sangat khas. "Bangunan ini dinamakan Ndalem Bonokeling," jelas Elly.
Sesaat setelah hadir, tak hanya keramahan yang menyambut. Ada satu minuman hangat penyapa kedatangan para pengunjung. Penyaji di Kampoeng Djowo menyebutnya 'jahe ceng'. Minuman penghangat badan berbahan dasar jahe, kapulogo, dan rempah-rempah ini memiliki rasa yang khas. Pas sebagai penghangat untuk melawan udara dingin lereng pegunungan.
Antony, salah seorang pengunjung dari Tuban mengakui aroma dan rasa minuman ini berbeda dengan minuman berbahan jahe lainnya. "Kombinsi jahe yang tak terlalu kuat dan rasa kapulogo yang mantap dan sedikit rasa gula jawa menjadikan minuman ini segar untuk diseruput," ujarnya.
Di toko kesenian Kampoeng Djowo bisa dijumpai bermacam kerajinan yang khas. Ada mainan anak tradisional yang hampir punah, hiasan pajang, batik, hingga aksesoris kecantikan bernuansa Jawa. Termasuk pula aneka macam buah tangan berupa makanan khas Sekatul, seperti rambak sapi, keripik kacang hijau (tumpi), serta keripik nagka. "Kebetulan Sekatul ini merupakan sentra penghasil nangka di Kabupaten Kendal," ungkap Winky. bowo pribadi
0 komentar:
Posting Komentar